The Secret In Paris
Tak seperti biasanya, mataku enggan
bersahabat denganku. Aku terbangun dari khayalan kosongku setelah pramugari
cantik itu memberi tahu bahwa pesawat yang aku tumpangi sebentar lagi akan
sampai ke Bandara Charles de Gaulle. Dengan lemasnya, aku meliukkan badanku ke
kanan dan kiri. Kemudian memakai jaket wol berwarna pink yang khusus dibawakan
mamaku tercinta. Ya, saat ini Paris sedang musim dingin. Betapa girangnya
hatiku, sekian lama bermimpi menginjakkan kaki di Perancis, dan sebentar lagi
akan menjadi kenyataan!
“Thank you for being with us. Have a
nice day and see you next time”, kata pramugari cantik itu sambil tersenyum
manis.
Aku menyiapkan hati dan senyumanku
untuk menyambut kota impianku ini. Ingin rasanya aku berlari dari kursi dudukku
keluar dari pesawat. Namun itu hanya imajinasiku saja. Turis – turis asing di
depanku berjalan lambat karena antrian untuk turun dari pesawat sangat panjang.
Akhirnya aku menuruni 15 anak tangga pesawat dengan tergesa – gesa. Seketika,
udara dingin Perancis menusuk tulangku. Aku membeku, aku terdiam, aku hanya memandangi
sekitarku yang penuh dengan salju putih Paris.
Akhirnya...
“ Aaaaaaa! Aku di Paris! Mama, Papa,
aku di Paris sekarang!” tanpa malu aku berteriak dan berputar – putar sambil
menengadahkan tanganku ke atas untuk menggenggam salju yang sedang turun.
Orang – orang yang hiruk pikuk di
sekelilingku hanya memandangiku dengan muka yang penuh dengan tanda tanya. Ada
juga yang melihatku sekilas dan kembali sibuk dengan urusan mereka masing –
masing. Yah, beginilah Paris. Orang –orangnya 180 derajat berbeda dengan orang
Indonesia asli. Inilah salah satu hal yang nantinya akan membuatku rindu dengan
Indonesia.
Setelah sekitar 10 menit aku bersuka
ria, akhirnya aku merasa kelelahan juga.Aku berjalan menuju koridor bandara dan
mencari tempat duduk kosong untuk beristirahat sejenak.
Aku mendapatkan kursi duduk di dekat
seorang bule yang dari raut mukanya tampak jelas sekali berdarah Arab. Ia
melemparku sebuah senyuman, aku pun membalasnya dengan senyum termanisku.
Aku merogoh ponselku di kantong
bajuku sembari menata barang bawaanku yang cukup banyak.
“Hallo?”, aku memulai percakapan.
“Hallo, dengan Keluarga hhdu, ada
yang bisa saya bantu?”
“Bibi, ini aku, Olivia. Lupa ya sama
suaraku? Bi, mama mana? Cepetan panggilin, ya Bi. Aku kangen banget nih sama
mama,” jawabku dengan tak sabar.
“Ini mbak Oliviabeneran? Udah sampai
Perancis mbak? Bagaimana mbak di sana? Wah..pasti dingin sekali ya.. Mbak lagi
apa sekarang? Mbak, jangan lupa oleh-oleh buat bibi ya,” bisik bibi saat
mengakhiri percakapan.
“Iya bibi. Ini Olivia beneran. Mama
ke mana? Olivia baru saja sampai, Bi. Ini saja masih di bandara. Jangan
khawatir, Bi. Olivia ngga bakalan lupa sama pesenannya bibi,”
“Terima kasih banyak, Mbak Olivia.
Tapi, ibu masih tidur mbak, kelelahan,”
“Oh, begitu,Bi. Iya sudah, biarin
saja mama tidur. Nanti sampaikan ke mama, kalau Olivia sudah sampai di
Perancis. Jaga mama baik – baik ya,Bi,” pesanku kepada Bi Iyem, pembantu
keluargaku yang paling baik dan mengerti.
“Baik, Mbak. Nanti akan bibi
sampaikan kalau ibu sudah bangun. Siap, Mbak. Bibi akan menjaga ibu seperti pesan Mbak Olivia. Mbak
Olivia juga jaga diri ya di sana,”
“Iya Bi Iyem, pasti.. Terima kasih
ya, Bi,”
“Iya Mbak, sama – sama,”
Tuuuttttt...
Aku memandangi brosur ‘Photography
Seminar’ yang aku genggam di tangan tanpa kedipan mata. Sungguh, rasanya
seperti mimpi di siang bolong. Berhari – hari, berbulan – bulan, bahkan
bertahun – tahun aku berimajinasi tentang kota impianku ini. Takdir Tuhan
memang penuh dengan kejutan. Aku sangat bersyukur sekali dengan rencana Tuhan
ini, yang akan aku kenang, seumur hidupku.
Jam di Bandara Charles de Gaulle
menunjukkan pukul 05.00 waktu setempat. Aku terpaku melihat jam itu. Bagaimana
tidak, hari hampir larut malam, namun aku masih saja stay di ruang tunggu bandara. Tanpa pikir panjang, aku bergegas
keluar dari bandara dan menuju ke pangkalan taxi di seberang jalan. Ku percepat
langkah kakiku dan menyetop sebuah taxi berwarna kuning itu. Ternyata,
pelayanan sopir taxi di Paris tak jauh beda dengan sopir taxi di Indonesia.
Setelah membuka pintu taxi, aku langsung ditanyai ke mana tujuanku. Dan dengan
lantang, aku jawab.....
Selama di perjalanan, aku sangat
terpukau dengan suasana malam di Paris. Sangat menakjubkan! Kerlap – kerlip
lampu malam menghiasai hamparan gedung – gedung bertingkat. Mungkin orang – orang di sini memulai
aktivitas mereka pada malam hari. Jalanan ramai dengan orang – orang yang akan
menikmati hangatnya malam. Ingin sekali aku menjadi bagian dari mereka.
Berkumpul dengan keluarga, dengan sahabat, dan dengan siapa pun itu.
Menghabiskan gelapnya malam dengan sejuta keceriaan dan kenangan.
Setelah cuci mata dengan kehidupan
malam para Parisian, akhirnya aku sampai juga di hotel. Aku membayar ongkos
taxi dengan mata uang Perancis yang telah aku tukarkan sebelumnya. Sopir taxi
itu pergi meninggalkan aku di depan jalan masuk menuju hotel. Sangat indah
sekali arsitektur hotel ini. Jalanan yang di sekelilingnya terdapat ukiran nama
hotel yang penuh dengan kerlap – kerlip lampion
berbentuk diamon. Bangunannya yang megah karena berlantai 10. Dan yang paling
menjadi sorotan mataku adalah di sudut ruangan hotel itu ada ukiran kayu yang
sudah tak asing lagi bagiku. Ya! Itu adalah ukiran kayu khas Jogja, yang sangat
minimalis dan bernilai seni tinggi sehingga membuat pemilik hotel memboyong
jauh – jauh ukiran tersebut dari Jogja. Aku sangat bangga sekali menjadi orang
Jogja!
Tanpa basa – basi, aku langsung check in di hotel itu. Aku mengambil
satu kamar kosong bernomor 101 untuk 3 hari ke depan. Badanku mulai pegal –
pegal, sehingga aku bergegas menuju kamar untuk beristirahat. Ku buka pintu kamar perlahan, aku melongo
melihat seisi kamar yang tertata rapi dan sangat naturalis. Perabotan yang
sangat mewah, pikirku. Aku menjatuhkan diri ke kasur dan menggulingkan diri ke
sana ke mari. Kemudian aku mengecek kamar mandi yang terletak di sebelah kanan
tempat tidurku. Tak mengecewakan! Tata ruang kamar mandi hotel ini mirip dengan tata ruang kamar mandi orang
British yang sering aku lihat di film – film. Aku sangat senang sekali.
Bagaimana tidak, diam – diam, aku menginginkan kamar mandi rumahku seperti
kamar mandi milik orang British. Sepertinya butuh uang yang banyak, yang harus
aku tabung berbulan – bulan untuk memiliki kamar mandi seperti ini. Namun sekarang,
aku telah memiliki kamar mandi ini walaupun hanya selama 3 hari. Terima kasih
Tuhan!
Setelah terkagum – kagum dengan seisi kamar
sementaraku ini, aku langsung mengeluarkan pakaian – pakaianku dari dalam
koper. Cukup melelahkan, karena barang bawaanku yang begitu banyak. Aku merebahkan
tubuhku ke tempat tidur dan memejamkan mata. Paris, aku siap memulai
aktivitasku bersamamu!
Kriiiinngg....kriinnggg...
Ponselku tiba – tiba berbunyi sehingga memaksaku
untuk terbangun dari tidurku. Ku lirik jam dinding di depanku. Jam kayu itu
menunjukkan jam 7 pagi. Kantuk yang sangat berat masih ku rasakan. Sehingga
membuatku ingin tertidur pulas kembali untuk melepas penatku.
Ponselku masih saja berbunyi, dan akhirnya aku
mengangkat panggilan itu.
“Olivia, cepat bangun. Agenda kita hari ini sangat
padat. Satu lagi, sesuai rencana kita sebelumnya, agenda akan kita mulai jam 8.
Jangan sampai telat, ya. Aku tunggu kamu
di Jalan Columbus. See you,”
Tuut..
Ternyata yang memanggil aku barusan adalah Pritha.
Pritha juga merupakan peserta ‘Photography Seminar’ yang berasal dari Bali. Aku
kenal dengan Pritha belum terlalu lama. Kalau tidak ada acara ini, aku dan
Pritha pasti tidak akan bertemu. Dan aku pun sebelumnya belum pernah bertemu
dengan Pritha. Aku paham dengan raut mukanya berkat foto dan video yang ia
kirimkan untuk aku. Selain berkomunikasi lewat sosial media, aku juga mengorek
– orek info tentang Pritha. Ternyata dia merupakan siswi bertalenta di
kampusnya. Ia pernah meraih Juara I Fotografi Nasional dan mewakili Indonesia
di perlombaan tingkat internasional. Bahkan, aku pernah membaca blog pribadinya
yang menceritakan bahwa Pritha telah memperoleh 31 medali emas dan 12
sertifikat dari perlombaan yang pernah ia ikuti. Tak heran, ia merupakan
aktivis fotografer di kampusnya. Aku sangat bangga karena aku bisa satu tim
dengan Pritha yang kemampuannya jauh lebih handal daripada kemampuanku.
Karena saat mengangkat panggilan dari Pritha aku
baru setengah sadar, maka aku tidak sepenuhnya mengerti apa yang Pritha
katakan. Oleh sebab itu, aku memutuskan untuk memanggilnya kembali.
“Hallo, Pritha. Tadi kamu bicara apa? Maaf, aku
masih mengantuk, jadinya aku tidak paham apa yang kamu katakan. Would you like to repeat? “ pintaku pada
Pritha.
“Aduh Olivia. Belum berubah – berubah juga kebiasaan
burukmu. Masih saja kesiangan bangunnya,”
“ Aku bangun kesiangan juga karena kecapekan.
Setelah perjalanan jauh dari Jogja sampai ke Paris. Ayolah, tadi kamu berbicara
apa sama aku?”
“Olivia, dengarkan. Acara ‘Fotography Seminar’ akan
dimulai jam 8. Kamu cepetan siap – siap. Jangan sampai terlambat. Aku tunggu di
Jalan Columbus. Cukup jelas kan?” gertak Pritha.
“Apa? Jam 8? Ya Tuhan, baiklah kalau begitu. Aku
akan segera siap – siap, tunggu aku ya!” kataku sambil mengakhiri panggilan.
Aku tidak mau terlambat di acara ‘Fotography
Seminar’. Jika aku terlambat, artinya aku menyia – nyiakan kesempatan yang
telah Tuhan berikan kepadaku. Tanpa pikir panjang, aku bergegas lari untuk
mandi dan sarapan. Setelah selesai sarapan, aku buru – buru menyiapkan semua
dokumen dan barang – barang yang sekiranya aku butuhkan untuk aku bawa ke acara
berhargaku itu. Dan satu hal yang tidak akan lupa aku bawa, kamera
kesayanganku.
Jam menunjukkan pukul 8 kurang 5 menit. Ponsel yang
aku kantongi di saku celana berbunyi terus menerus.
“Pasti Pritha yang menelepon. Pritha, tolong
bersabarlah sebentar!” gumamku.
Aku memang sengaja tidak mengangkat panggilan dari
Pritha supaya tidak memakan waktu yang lebih lama lagi. Dengan segera aku
mengunci pintu kamarku dan berlari ke halaman hotel untuk menyetop taksi dan
segera meluncur ke Jalan Columbus. Beruntungnya, aku tak perlu menunggu waktu
yang lama untuk menunggu taksi datang. Karena di daerah ini banyak sekali taksi
yang berlalu – lalang untuk mengantarkan para wisatawan domestik maupun
wisatawan mancanegara.
Aku menyuruh sopir taksi untuk berjalan lebih cepat karena
sebentar lagi jam akan menunjukkan puku 8. Setelah itu, aku membuka ponselku
yang daritadi berbunyi terus menerus. Ternyata sudah ada 13 panggilan tak
terjawab dari Pritha. Tanpa pikir panjang aku langsung menelepon Pritha untuk
mengabarinya bahwa aku sudah dalam perjalanan menuju Jalan Columbus.
“Hallo, Pritha?” sapaku.
“Hallo, Olivia. Kamu di mana? Daritadi aku telfon
kok tidak diangkat. Acara sudah dimulai , buruan ke sini. Pembicara memberikan
waktu sampai jam 8 lebih 15 menit. Aku tunggu ya, Liv!” bisik Pritha dan dari
suaranya telah terdengar jelas bahwa suasana saat itu sangat ramai.
Aku sangat kaget dan terkejut ketika Pritha
mengatakan bahwa ‘Fotography Seminar’-nya sudah dimulai. Aku menyuruh sopir
taksi untuk mempercepat kecepatan taksinya. Namun sopir taksi itu bilang bahwa
aku hampir sampai di Jalan Columbus. Ternyata benar, tidak ada 2 menit, aku
sudah sampai di Jalan Columbus. Aku membayar taksi itu dan berlari ke gedung di
mana seminar itu berlangsung. Ku percepat lariku dan terus berdoa semoga
kesempatanku ini tidak terbuang sia – sia.
Dari kejauhan jelas terlihat bahwa halaman gedung
itu ramai oleh peserta – peserta lain. Mereka sangat berantusias untuk
mengikuti acara besar yang mengundang pembicara dari Inggris ini. Sementara
itu, ketika aku sudah sampai di gedung itu, aku kebingungan mencari ruang
sekretariat, di mana di tempat itu aku dan peserta ;ain harus check in lagi
sebelum mengikuti acara intinya.
Teng..tong..teng..tong..
Di saat aku kebingungan mencari ruang sekretariat,
bel tanda masuk itu berbunyi. Aku sangat terkejut, karena sampai bel itu
berbunyi pun aku belum check in. Aku terus mencari, mencari, dan mencari. Dari
ujung gedung hingga pojok gedung. Dan akhirnya, aku menemukan pos sekretariat
itu. Sungguh leganya hatiku, karena sebentar lagi aku akan bertemu dengan
Prof.Dr.Samuel Robert sebagai pembicara dan juga Pritha.
“Maaf, Mbak. Sebelum memasuki ruangan seminar, mohon
tunjukkan undangan dan kartu identitas Anda,” kata seorang cewek yang di kartu
namanya bertuliskan Maya.
“Oh, baik, Mbak, sebentar ya. Akan saya carikan
dulu,” jawabku kepada Maya.
Aku membuka tasku dengan cepat dan segera mencari
undangan berwarna biru muda dan kartu identitasku yang aku selipkan di undangan
itu semalam. Ya Tuhan, apa yang terjadi. Undangan yang telah aku siapkan tidak
ada di tas. Aku sangan panik seketika itu juga. Ku cari undangannya di tas
bagian depan, belakang, bahkan aku keluarkan semua isi tasku barangkali
undangan itu tersembunyi. Maya melihatku dengan tatapan heran.
“Apa ada yang bisa saya bantu, Mbak? Kelihatannya
Anda sangat kebingungan,” tanya Maya kepadaku sebagai respon akibat perbuatanku
itu.
“Terima kasih atas bantuannya. Tapi saya bisa
mencarinya sendiri,” aku menolak tawaran Maya. Walaupun sebenarnya aku
membutuhkan bantuan.
“Baiklah kalau begitu, apakah ada masalah?” Maya
kembali bertanya kepadaku.
Aku diam tak menjawab pertanyaan Maya. Aku sibuk
mencari undanganku. Karena, bagaimana pun juga aku datang ke Paris ini untuk
mengikuti ‘Fotography Seminar’. Namun apa jadinya bila aku sudah berada di
gedung pertemuan, namun aku gagal untuk masuk karena undangan yang merupakan kunci
penting tertinggal di hotel.
Ingin sekali aku menangis di depan Maya. Tapi sebisa
mungkin aku menahan kesedihanku itu. Tuhan, mengapa semua ini terjadi. Aku
salah, aku ceroboh, aku tidak teliti dengan apa yang aku butuhkan. Dan tanpa
aku sadari, air mata kesedihanku itu tumpah juga.
“Apa ada masalah?” tanya Maya dengan raut muka yang
sedikit berbeda.
“Undangan dan kartu identitas itu tidak ada di tas
saya. Saya sudah mencarinya tapi memang betul kalau undangan itu tertinggal di kamar
hotel saya. Apakah saya tetap boleh masuk tanpa undangan dan kartu identitas?”
pintaku.
“Maaf, Mbak. Peraturan tetap peraturan. Barangsiapa
tidak menunjukkan undangan dan kartu identitasnya, maka dilarang keras untuk
mengikuti acara ini,” Maya menjawab dengan tegas.
Aku semakin terpukul mendengar jawaban dari Maya.
“Tapi kan......”
“Sekali lagi, maaf, Mbak. Tidak boleh. Mohon keluar
dari antrian karena di belakang masih ada yang antri,” kata Maya.
Aku menoleh ke belakang, melihat seorang laki – laki
yang berjenggot itu. Raut mukanya terlihat sekali sangat marah karena
menungguku check in yang memakan waktu lama.
Aku berjalan menuju kursi taman di dekat gedung. Ku
perlambat langkah kakiku dan sesekali menoleh ke belakang, membayangkan dapat
masuk ke gedung yang mewah itu. Namun, takdir berkata lain kepadaku. Aku sangat
sedih, kecewa, dan menyesal. Kebiasaan burukku
membuat impianku musnah. Air mataku turun begitu derasnya. Ingin sekali
aku memeluk mama dan bercerita dengan dia. Mama adalah orang yang sangat
berarti bagiku. Semua curahan hatiku selalu aku luapkan kepada mama. Mama
dengan sabar menasehatiku dan selalu mengerti apa yang aku rasakan. Ma, Olivia
kangen mama..
Tiba – tiba salju di Paris ini berhenti turun. Aku
mengusap air mataku dan melihat sekelilingku. Parisian dan para wisatawan
lainnya tampak bahagia karena mereka menghabiskan waktu mereka bersama – sama.
Banyak anak kecil yang bermain gelembung, ada juga satu keluarga yang sedang
piknik bersama, dan ada yang bermain perang salju. Senyumku kembali mengembang
setelah melihat keceriaan mereka.
Ternyata, di luar sana masih banyak kebahagiaan apabila
kita mau memulainya. Aku berdiri, kemudian mengusap air mata, merapikan
pakaianku, dan merapikan rambutku.
“Aku siap memulainya,” dengan yakin aku
mengatakannya.
Ku langkahkan kakiku sembari mengambil kamera di
tasku. Aku memotret setiap bagian kehidupan ini. Mulai dari anak – anak, hingga
lansia pun tak ketinggalan untuk aku potret. Seketika, aku mempunyai ide untuk
berkunjung ke setiap tempat wisata yang terkenal di Paris. Terutama, Menara
Eiffel!
Setelah melalui perjalanan yang cukup lama, akhirnya
aku sampai juga ke tempat ini. Sangat indah sekali pemandangan di sini. Dan
pastinya tempat ini cocok untuk menjadi bahan potretanku yang nantinya akan aku
perlihatkan kepada mama.
Les Invalides, Notre Dame, Museum Lovre, Arc de
Triomphe, sampai Menara Eiffel sudah menjadi potretanku. Aku sangat terpukau
dengan wisata di Paris ini. Dan membuatku ingin kembali ke sini bersama
keluargaku tercinta. Aku sudah tahu jawabannya, mengapa Paris merupakan tujuan
wisata pertama di dunia, ya, karena keindahannya!
Hari hampir larut malam, namun aku belum juga pulang
ke hotel. Aku masih berada di pusat perbelanjaan yang menjual berbagai barang
khas Paris. Aku membeli banyak sekali oleh – oleh, untuk diriku sendiri, mama,
papa, dan pastinya untuk Bi Iyem.
Setelah merasa kelelahan, akhirnya aku memutuskan
pulang ke hotel dan membawa barang bawaanku yang sangat banyak ini. Aku
menyetop taksi dan menuju hotel. Aku langsung berbaring di tempat tidur ketika
aku sampai di kamar. Rasanya sangat capek sekali. Namun, dengan capek itu aku
sedikit bisa melupakan kesedihanku akibat gagal mengikuti seminar itu.
Kesedihanku terbayar dengan keindahan
dan keunikan Paris.
Tuhan memang mempunyai takdir yang tak terpikirkan
sebelumnya. Aku sangat bersyukur sekali, walaupun aku gagal untuk untuk
mengikuti seminar, namun aku tetap bisa mendapatkan kebahagiaan dengan caraku
sendiri.
Aku memejamkan mata dan siap untuk bertemu mama,
papa, Bi Iyem. Ya, aku siap untuk pulang ke Jogja dengan sejuta kepingan kenangan.
No comments:
Post a Comment