Tuesday, 27 January 2015

The Secret In Paris ~ Latepost



The Secret In Paris

            Tak seperti biasanya, mataku enggan bersahabat denganku. Aku terbangun dari khayalan kosongku setelah pramugari cantik itu memberi tahu bahwa pesawat yang aku tumpangi sebentar lagi akan sampai ke Bandara Charles de Gaulle. Dengan lemasnya, aku meliukkan badanku ke kanan dan kiri. Kemudian memakai jaket wol berwarna pink yang khusus dibawakan mamaku tercinta. Ya, saat ini Paris sedang musim dingin. Betapa girangnya hatiku, sekian lama bermimpi menginjakkan kaki di Perancis, dan sebentar lagi akan menjadi kenyataan!
            “Thank you for being with us. Have a nice day and see you next time”, kata pramugari cantik itu sambil tersenyum manis.
            Aku menyiapkan hati dan senyumanku untuk menyambut kota impianku ini. Ingin rasanya aku berlari dari kursi dudukku keluar dari pesawat. Namun itu hanya imajinasiku saja. Turis – turis asing di depanku berjalan lambat karena antrian untuk turun dari pesawat sangat panjang. Akhirnya aku menuruni 15 anak tangga pesawat dengan tergesa – gesa. Seketika, udara dingin Perancis menusuk tulangku. Aku membeku, aku terdiam, aku hanya memandangi sekitarku yang penuh dengan salju putih Paris.
            Akhirnya...
            “ Aaaaaaa! Aku di Paris! Mama, Papa, aku di Paris sekarang!” tanpa malu aku berteriak dan berputar – putar sambil menengadahkan tanganku ke atas untuk menggenggam salju yang sedang turun.
            Orang – orang yang hiruk pikuk di sekelilingku hanya memandangiku dengan muka yang penuh dengan tanda tanya. Ada juga yang melihatku sekilas dan kembali sibuk dengan urusan mereka masing – masing. Yah, beginilah Paris. Orang –orangnya 180 derajat berbeda dengan orang Indonesia asli. Inilah salah satu hal yang nantinya akan membuatku rindu dengan Indonesia.
            Setelah sekitar 10 menit aku bersuka ria, akhirnya aku merasa kelelahan juga.Aku berjalan menuju koridor bandara dan mencari tempat duduk kosong untuk beristirahat sejenak.
            Aku mendapatkan kursi duduk di dekat seorang bule yang dari raut mukanya tampak jelas sekali berdarah Arab. Ia melemparku sebuah senyuman, aku pun membalasnya dengan senyum termanisku.
            Aku merogoh ponselku di kantong bajuku sembari menata barang bawaanku yang cukup banyak.
            “Hallo?”, aku memulai percakapan.
            “Hallo, dengan Keluarga hhdu, ada yang bisa saya bantu?”
            “Bibi, ini aku, Olivia. Lupa ya sama suaraku? Bi, mama mana? Cepetan panggilin, ya Bi. Aku kangen banget nih sama mama,” jawabku dengan tak sabar.
            “Ini mbak Oliviabeneran? Udah sampai Perancis mbak? Bagaimana mbak di sana? Wah..pasti dingin sekali ya.. Mbak lagi apa sekarang? Mbak, jangan lupa oleh-oleh buat bibi ya,” bisik bibi saat mengakhiri percakapan.
            “Iya bibi. Ini Olivia beneran. Mama ke mana? Olivia baru saja sampai, Bi. Ini saja masih di bandara. Jangan khawatir, Bi. Olivia ngga bakalan lupa sama pesenannya bibi,”
            “Terima kasih banyak, Mbak Olivia. Tapi, ibu masih tidur mbak, kelelahan,”
            “Oh, begitu,Bi. Iya sudah, biarin saja mama tidur. Nanti sampaikan ke mama, kalau Olivia sudah sampai di Perancis. Jaga mama baik – baik ya,Bi,” pesanku kepada Bi Iyem, pembantu keluargaku yang paling baik dan mengerti.
            “Baik, Mbak. Nanti akan bibi sampaikan kalau ibu sudah bangun. Siap, Mbak. Bibi akan  menjaga ibu seperti pesan Mbak Olivia. Mbak Olivia juga jaga diri ya di sana,”
            “Iya Bi Iyem, pasti.. Terima kasih ya, Bi,”
            “Iya Mbak, sama – sama,”
            Tuuuttttt...
            Aku memandangi brosur ‘Photography Seminar’ yang aku genggam di tangan tanpa kedipan mata. Sungguh, rasanya seperti mimpi di siang bolong. Berhari – hari, berbulan – bulan, bahkan bertahun – tahun aku berimajinasi tentang kota impianku ini. Takdir Tuhan memang penuh dengan kejutan. Aku sangat bersyukur sekali dengan rencana Tuhan ini, yang akan aku kenang, seumur hidupku.
            Jam di Bandara Charles de Gaulle menunjukkan pukul 05.00 waktu setempat. Aku terpaku melihat jam itu. Bagaimana tidak, hari hampir larut malam, namun aku masih saja stay di ruang tunggu bandara. Tanpa pikir panjang, aku bergegas keluar dari bandara dan menuju ke pangkalan taxi di seberang jalan. Ku percepat langkah kakiku dan menyetop sebuah taxi berwarna kuning itu. Ternyata, pelayanan sopir taxi di Paris tak jauh beda dengan sopir taxi di Indonesia. Setelah membuka pintu taxi, aku langsung ditanyai ke mana tujuanku. Dan dengan lantang, aku jawab.....
            Selama di perjalanan, aku sangat terpukau dengan suasana malam di Paris. Sangat menakjubkan! Kerlap – kerlip lampu malam menghiasai hamparan gedung – gedung bertingkat.  Mungkin orang – orang di sini memulai aktivitas mereka pada malam hari. Jalanan ramai dengan orang – orang yang akan menikmati hangatnya malam. Ingin sekali aku menjadi bagian dari mereka. Berkumpul dengan keluarga, dengan sahabat, dan dengan siapa pun itu. Menghabiskan gelapnya malam dengan sejuta keceriaan dan kenangan.
            Setelah cuci mata dengan kehidupan malam para Parisian, akhirnya aku sampai juga di hotel. Aku membayar ongkos taxi dengan mata uang Perancis yang telah aku tukarkan sebelumnya. Sopir taxi itu pergi meninggalkan aku di depan jalan masuk menuju hotel. Sangat indah sekali arsitektur hotel ini. Jalanan yang di sekelilingnya terdapat ukiran nama hotel yang penuh dengan  kerlap – kerlip lampion berbentuk diamon. Bangunannya yang megah karena berlantai 10. Dan yang paling menjadi sorotan mataku adalah di sudut ruangan hotel itu ada ukiran kayu yang sudah tak asing lagi bagiku. Ya! Itu adalah ukiran kayu khas Jogja, yang sangat minimalis dan bernilai seni tinggi sehingga membuat pemilik hotel memboyong jauh – jauh ukiran tersebut dari Jogja. Aku sangat bangga sekali menjadi orang Jogja!
            Tanpa basa – basi, aku langsung check in di hotel itu. Aku mengambil satu kamar kosong bernomor 101 untuk 3 hari ke depan. Badanku mulai pegal – pegal, sehingga aku bergegas menuju kamar untuk beristirahat. Ku  buka pintu kamar perlahan, aku melongo melihat seisi kamar yang tertata rapi dan sangat naturalis. Perabotan yang sangat mewah, pikirku. Aku menjatuhkan diri ke kasur dan menggulingkan diri ke sana ke mari. Kemudian aku mengecek kamar mandi yang terletak di sebelah kanan tempat tidurku. Tak mengecewakan! Tata ruang kamar mandi hotel ini  mirip dengan tata ruang kamar mandi orang British yang sering aku lihat di film – film. Aku sangat senang sekali. Bagaimana tidak, diam – diam, aku menginginkan kamar mandi rumahku seperti kamar mandi milik orang British. Sepertinya butuh uang yang banyak, yang harus aku tabung berbulan – bulan untuk memiliki kamar mandi seperti ini. Namun sekarang, aku telah memiliki kamar mandi ini walaupun hanya selama 3 hari. Terima kasih Tuhan!
Setelah terkagum – kagum dengan seisi kamar sementaraku ini, aku langsung mengeluarkan pakaian – pakaianku dari dalam koper. Cukup melelahkan, karena barang bawaanku yang begitu banyak. Aku merebahkan tubuhku ke tempat tidur dan memejamkan mata. Paris, aku siap memulai aktivitasku bersamamu!
Kriiiinngg....kriinnggg...
Ponselku tiba – tiba berbunyi sehingga memaksaku untuk terbangun dari tidurku. Ku lirik jam dinding di depanku. Jam kayu itu menunjukkan jam 7 pagi. Kantuk yang sangat berat masih ku rasakan. Sehingga membuatku ingin tertidur pulas kembali untuk melepas penatku.
Ponselku masih saja berbunyi, dan akhirnya aku mengangkat panggilan itu.
“Olivia, cepat bangun. Agenda kita hari ini sangat padat. Satu lagi, sesuai rencana kita sebelumnya, agenda akan kita mulai jam 8. Jangan sampai  telat, ya. Aku tunggu kamu di Jalan Columbus. See you,”
Tuut..
Ternyata yang memanggil aku barusan adalah Pritha. Pritha juga merupakan peserta ‘Photography Seminar’ yang berasal dari Bali. Aku kenal dengan Pritha belum terlalu lama. Kalau tidak ada acara ini, aku dan Pritha pasti tidak akan bertemu. Dan aku pun sebelumnya belum pernah bertemu dengan Pritha. Aku paham dengan raut mukanya berkat foto dan video yang ia kirimkan untuk aku. Selain berkomunikasi lewat sosial media, aku juga mengorek – orek info tentang Pritha. Ternyata dia merupakan siswi bertalenta di kampusnya. Ia pernah meraih Juara I Fotografi Nasional dan mewakili Indonesia di perlombaan tingkat internasional. Bahkan, aku pernah membaca blog pribadinya yang menceritakan bahwa Pritha telah memperoleh 31 medali emas dan 12 sertifikat dari perlombaan yang pernah ia ikuti. Tak heran, ia merupakan aktivis fotografer di kampusnya. Aku sangat bangga karena aku bisa satu tim dengan Pritha yang kemampuannya jauh lebih handal daripada kemampuanku.
Karena saat mengangkat panggilan dari Pritha aku baru setengah sadar, maka aku tidak sepenuhnya mengerti apa yang Pritha katakan. Oleh sebab itu, aku memutuskan untuk memanggilnya kembali.
“Hallo, Pritha. Tadi kamu bicara apa? Maaf, aku masih mengantuk, jadinya aku tidak paham apa yang kamu katakan. Would you like to repeat? “ pintaku pada Pritha.
“Aduh Olivia. Belum berubah – berubah juga kebiasaan burukmu. Masih saja kesiangan bangunnya,”
“ Aku bangun kesiangan juga karena kecapekan. Setelah perjalanan jauh dari Jogja sampai ke Paris. Ayolah, tadi kamu berbicara apa sama aku?”
“Olivia, dengarkan. Acara ‘Fotography Seminar’ akan dimulai jam 8. Kamu cepetan siap – siap. Jangan sampai terlambat. Aku tunggu di Jalan Columbus. Cukup jelas kan?” gertak Pritha.
“Apa? Jam 8? Ya Tuhan, baiklah kalau begitu. Aku akan segera siap – siap, tunggu aku ya!” kataku sambil mengakhiri panggilan.
Aku tidak mau terlambat di acara ‘Fotography Seminar’. Jika aku terlambat, artinya aku menyia – nyiakan kesempatan yang telah Tuhan berikan kepadaku. Tanpa pikir panjang, aku bergegas lari untuk mandi dan sarapan. Setelah selesai sarapan, aku buru – buru menyiapkan semua dokumen dan barang – barang yang sekiranya aku butuhkan untuk aku bawa ke acara berhargaku itu. Dan satu hal yang tidak akan lupa aku bawa, kamera kesayanganku.
Jam menunjukkan pukul 8 kurang 5 menit. Ponsel yang aku kantongi di saku celana berbunyi terus menerus.
“Pasti Pritha yang menelepon. Pritha, tolong bersabarlah sebentar!” gumamku.
Aku memang sengaja tidak mengangkat panggilan dari Pritha supaya tidak memakan waktu yang lebih lama lagi. Dengan segera aku mengunci pintu kamarku dan berlari ke halaman hotel untuk menyetop taksi dan segera meluncur ke Jalan Columbus. Beruntungnya, aku tak perlu menunggu waktu yang lama untuk menunggu taksi datang. Karena di daerah ini banyak sekali taksi yang berlalu – lalang untuk mengantarkan para wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara.
Aku menyuruh sopir taksi untuk berjalan lebih cepat karena sebentar lagi jam akan menunjukkan puku 8. Setelah itu, aku membuka ponselku yang daritadi berbunyi terus menerus. Ternyata sudah ada 13 panggilan tak terjawab dari Pritha. Tanpa pikir panjang aku langsung menelepon Pritha untuk mengabarinya bahwa aku sudah dalam perjalanan menuju Jalan Columbus.
“Hallo, Pritha?” sapaku.
“Hallo, Olivia. Kamu di mana? Daritadi aku telfon kok tidak diangkat. Acara sudah dimulai , buruan ke sini. Pembicara memberikan waktu sampai jam 8 lebih 15 menit. Aku tunggu ya, Liv!” bisik Pritha dan dari suaranya telah terdengar jelas bahwa suasana saat itu sangat ramai.
Aku sangat kaget dan terkejut ketika Pritha mengatakan bahwa ‘Fotography Seminar’-nya sudah dimulai. Aku menyuruh sopir taksi untuk mempercepat kecepatan taksinya. Namun sopir taksi itu bilang bahwa aku hampir sampai di Jalan Columbus. Ternyata benar, tidak ada 2 menit, aku sudah sampai di Jalan Columbus. Aku membayar taksi itu dan berlari ke gedung di mana seminar itu berlangsung. Ku percepat lariku dan terus berdoa semoga kesempatanku ini tidak terbuang sia – sia.
Dari kejauhan jelas terlihat bahwa halaman gedung itu ramai oleh peserta – peserta lain. Mereka sangat berantusias untuk mengikuti acara besar yang mengundang pembicara dari Inggris ini. Sementara itu, ketika aku sudah sampai di gedung itu, aku kebingungan mencari ruang sekretariat, di mana di tempat itu aku dan peserta ;ain harus check in lagi sebelum mengikuti acara intinya.
Teng..tong..teng..tong..
Di saat aku kebingungan mencari ruang sekretariat, bel tanda masuk itu berbunyi. Aku sangat terkejut, karena sampai bel itu berbunyi pun aku belum check in. Aku terus mencari, mencari, dan mencari. Dari ujung gedung hingga pojok gedung. Dan akhirnya, aku menemukan pos sekretariat itu. Sungguh leganya hatiku, karena sebentar lagi aku akan bertemu dengan Prof.Dr.Samuel Robert sebagai pembicara dan juga Pritha.
“Maaf, Mbak. Sebelum memasuki ruangan seminar, mohon tunjukkan undangan dan kartu identitas Anda,” kata seorang cewek yang di kartu namanya bertuliskan Maya.
“Oh, baik, Mbak, sebentar ya. Akan saya carikan dulu,” jawabku kepada Maya.
Aku membuka tasku dengan cepat dan segera mencari undangan berwarna biru muda dan kartu identitasku yang aku selipkan di undangan itu semalam. Ya Tuhan, apa yang terjadi. Undangan yang telah aku siapkan tidak ada di tas. Aku sangan panik seketika itu juga. Ku cari undangannya di tas bagian depan, belakang, bahkan aku keluarkan semua isi tasku barangkali undangan itu tersembunyi. Maya melihatku dengan tatapan heran.
“Apa ada yang bisa saya bantu, Mbak? Kelihatannya Anda sangat kebingungan,” tanya Maya kepadaku sebagai respon akibat perbuatanku itu.
“Terima kasih atas bantuannya. Tapi saya bisa mencarinya sendiri,” aku menolak tawaran Maya. Walaupun sebenarnya aku membutuhkan bantuan.
“Baiklah kalau begitu, apakah ada masalah?” Maya kembali bertanya kepadaku.
Aku diam tak menjawab pertanyaan Maya. Aku sibuk mencari undanganku. Karena, bagaimana pun juga aku datang ke Paris ini untuk mengikuti ‘Fotography Seminar’. Namun apa jadinya bila aku sudah berada di gedung pertemuan, namun aku gagal untuk masuk karena undangan yang merupakan kunci penting tertinggal di hotel.
Ingin sekali aku menangis di depan Maya. Tapi sebisa mungkin aku menahan kesedihanku itu. Tuhan, mengapa semua ini terjadi. Aku salah, aku ceroboh, aku tidak teliti dengan apa yang aku butuhkan. Dan tanpa aku sadari, air mata kesedihanku itu tumpah juga.
“Apa ada masalah?” tanya Maya dengan raut muka yang sedikit berbeda.
“Undangan dan kartu identitas itu tidak ada di tas saya. Saya sudah mencarinya tapi memang betul kalau undangan itu tertinggal di kamar hotel saya. Apakah saya tetap boleh masuk tanpa undangan dan kartu identitas?” pintaku.
“Maaf, Mbak. Peraturan tetap peraturan. Barangsiapa tidak menunjukkan undangan dan kartu identitasnya, maka dilarang keras untuk mengikuti acara ini,” Maya menjawab dengan tegas.
Aku semakin terpukul mendengar jawaban dari Maya.
“Tapi kan......”
“Sekali lagi, maaf, Mbak. Tidak boleh. Mohon keluar dari antrian karena di belakang masih ada yang antri,” kata Maya.
Aku menoleh ke belakang, melihat seorang laki – laki yang berjenggot itu. Raut mukanya terlihat sekali sangat marah karena menungguku check in yang memakan waktu lama.
Aku berjalan menuju kursi taman di dekat gedung. Ku perlambat langkah kakiku dan sesekali menoleh ke belakang, membayangkan dapat masuk ke gedung yang mewah itu. Namun, takdir berkata lain kepadaku. Aku sangat sedih, kecewa, dan menyesal. Kebiasaan burukku  membuat impianku musnah. Air mataku turun begitu derasnya. Ingin sekali aku memeluk mama dan bercerita dengan dia. Mama adalah orang yang sangat berarti bagiku. Semua curahan hatiku selalu aku luapkan kepada mama. Mama dengan sabar menasehatiku dan selalu mengerti apa yang aku rasakan. Ma, Olivia kangen mama..
Tiba – tiba salju di Paris ini berhenti turun. Aku mengusap air mataku dan melihat sekelilingku. Parisian dan para wisatawan lainnya tampak bahagia karena mereka menghabiskan waktu mereka bersama – sama. Banyak anak kecil yang bermain gelembung, ada juga satu keluarga yang sedang piknik bersama, dan ada yang bermain perang salju. Senyumku kembali mengembang setelah melihat keceriaan mereka.
Ternyata, di luar sana masih banyak kebahagiaan apabila kita mau memulainya. Aku berdiri, kemudian mengusap air mata, merapikan pakaianku, dan merapikan rambutku.
“Aku siap memulainya,” dengan yakin aku mengatakannya.
Ku langkahkan kakiku sembari mengambil kamera di tasku. Aku memotret setiap bagian kehidupan ini. Mulai dari anak – anak, hingga lansia pun tak ketinggalan untuk aku potret. Seketika, aku mempunyai ide untuk berkunjung ke setiap tempat wisata yang terkenal di Paris. Terutama, Menara Eiffel!
Setelah melalui perjalanan yang cukup lama, akhirnya aku sampai juga ke tempat ini. Sangat indah sekali pemandangan di sini. Dan pastinya tempat ini cocok untuk menjadi bahan potretanku yang nantinya akan aku perlihatkan kepada mama.
Les Invalides, Notre Dame, Museum Lovre, Arc de Triomphe, sampai Menara Eiffel sudah menjadi potretanku. Aku sangat terpukau dengan wisata di Paris ini. Dan membuatku ingin kembali ke sini bersama keluargaku tercinta. Aku sudah tahu jawabannya, mengapa Paris merupakan tujuan wisata pertama di dunia, ya, karena keindahannya!
Hari hampir larut malam, namun aku belum juga pulang ke hotel. Aku masih berada di pusat perbelanjaan yang menjual berbagai barang khas Paris. Aku membeli banyak sekali oleh – oleh, untuk diriku sendiri, mama, papa, dan pastinya untuk Bi Iyem.
Setelah merasa kelelahan, akhirnya aku memutuskan pulang ke hotel dan membawa barang bawaanku yang sangat banyak ini. Aku menyetop taksi dan menuju hotel. Aku langsung berbaring di tempat tidur ketika aku sampai di kamar. Rasanya sangat capek sekali. Namun, dengan capek itu aku sedikit bisa melupakan kesedihanku akibat gagal mengikuti seminar itu. Kesedihanku terbayar dengan keindahan  dan keunikan Paris.
Tuhan memang mempunyai takdir yang tak terpikirkan sebelumnya. Aku sangat bersyukur sekali, walaupun aku gagal untuk untuk mengikuti seminar, namun aku tetap bisa mendapatkan kebahagiaan dengan caraku sendiri.
Aku memejamkan mata dan siap untuk bertemu mama, papa, Bi Iyem. Ya, aku siap untuk pulang ke Jogja dengan sejuta kepingan kenangan.



No comments:

Post a Comment